Senin, 09 November 2020

Jurnalistik dan Pukulan Pandemi.


Jurnalistik dan Pukulan Pandemi.

        Di tengah bencana pandemi, jurnalis adalah salah satu profesi yang bertugas di garda depan. Para jurnalis melakukan kegiatan peliputan yang tak jarang mengharuskan mereka turun ke kawasan berbahaya demi informasi yang akurat.

        Jurnalis merupakan profesi yang menantang dan penuh risiko, tetapi munculnya pendemi Covid-19 menambah rentetan beberapa masalah baru yang harus dihadapi oleh para jurnalis, salah satunya adalah tekanan psikologis. Dari hasil survei persepsi diri wartawan di masa pendemi COVID-19 yang dilakukan oleh Center of Economi Development Study (CEDS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjajaran menunjukan kabar yang tak baik.

        Survei yang dilakukan periode 2-10 April dari berbagai daerah di Indonesia menunjukan 45,92 persen wartawan mengalami gejala depresi, 57,14 persen wartawan mengalami kejenuhan umum. Gejalanya adalah ketakutan, tidak bisa tidur, merasa tertekan dan sulit berkonsentrasi.

        Hal tersebut terjadi karena mereka harus meliput berbagai berita negatif, seperti banyaknya orang yang terpapar Covid-19 dan berbagai tragedi di masa pendemi. Para jurnalis wajib menjaga kesehatan metal mereka untuk mengatasi hal tersebut, agar tidak membawa dampak besar bagi para jurnalis. Jurnalis merupakan salah satu profesi yang dianggap rentan terpapar Covid-19. Hal tersebut dikarenakan dari mobilitas tinggi jurnalis di lapangan saat melakukan peliputan. Para jurnalis harus tetap melakukan peliputan dengan berbagai kondisi, meskipun taruhannya adalah kesehatan dan keselamatan diri di masa Covid-19.

        AJI mencatat setidaknya ada 242 jurnalis dan pekerja media yang dinyatakan positif virus corona sejak 30 Maret hingga 18 September 2020. Namun, tidak banyak perusahaan media yang mempublikasikan diri terkait status positif virus corona pekerja mereka.

 

Pemerintah Dinilai Abai Terhadap Jurnalis Saat Bendaca Pandemi

        Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrim menjelaskan Bentuk sikap abai pemerintah terlihat dari banyaknya konferensi pers yang digelar kementerian dan pemerintah daerah secara tatap muka. AJI mencatat setidaknya ada tujuh kegiatan konferensi pers secara langsung, yang tidak menaati protokol kesehatan pada Juli-Agustus 2020. Konferensi pers tersebut membuat kerumunan orang dan tidak memastikan adanya jarak aman sekitar dua meter.Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai, pemerintah telah abai terhadap penerapan protokol pencegahan penularan Covid-19 dalam kegiatan yang melibatkan jurnalis.

“Kondisi ini berpotensi membuat jurnalis dan pekerja media di Indonesia, rentan tertular Covid-19,” Sasmito dalam siaran pers tertulis, Selasa (22/9).

        AJI juga memantau kondisi setelah diterapkannya pelonggaran PSBB dengan menerapkan New Normal di berbagai wilayah di Indonesia pada Juli dan Agustus 2020. Kebijakan itu diambil tanpa pemantauan dan sanksi tegas bagi masyarakat yang melanggar protokol kesehatan. Akibatnya kasus virus Covid-19 kian bertambah di berbagai daerah. Virus Covid-19 menyebar ke berbagai lokasi, baik di Ibu Kota maupun di daerah, kemudian menginfeksi para jurnalis dan pekerja media.

        Data yang dikumpulkan AJI, setidaknya 242 jurnalis dan pekerja media yang dinyatakan positif Covid-19 sejak 30 Maret-September 2020. Kasus terbanyak terjadi dalam rentang Juli-Agustus 2020 dengan 235 kasus.

“Melihat kondisi ini, AJI mendesak pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga lain untuk tidak menggelar konferensi pers, secara tatap muka yang dapat berpotensi terjadinya penularan Covid-19 terhadap jurnalis dan pekerja media,” tegas Sasmito.

 

Upah dan Kondisi Kerja Kurang Layak

        Tentu saja industri media dan keberlangsungan kegiatan jurnalistik terpukul telak oleh bencana COVID INI. Sulitnya pemasukan yang didapatkan dari pengiklan, megurangi dan memperketat pengeluaran menjadi antisipasi perusahan media terhadap pandemi ini. Sehingga pendapatan jurnalis turun dan tak jarang juga ada pemutusan hubungan kerja.

        AJI Yogyakarta  membuat survei upah layak terhadap jurnalis. Untuk jurnalis pemula di Yogyakarta, salah satu kota dengan upah terendah, sekitar 1,7 juta rupiah (sesuai besaran Upah Minimum Regional). Mustahil jurnalis dapat hidup layak di Yogyakarta. Berdasarkan survei upah layak di Yogyakarta, upah atau gaji jurnalis berada di kisaran 6 juta rupiah. Angka itu dihitung dari kebutuhan makan, tempat tinggal, sandang, dan kebutuhan penunjang (cicilan gawai).

 “Dari situasi tersebut, jurnalis pemula mendapat upah yang jauh panggang dari api,” ujar Shinta Maharani Ketua AJI Yogyakarta.

        AJI juga menerima keluhan terhadap perusahaan media yang tak memberikan alat pelindung diri (hand sanitizer, masker, dan lainnya). Padahal, jurnalis berisiko terinfeksi virus Corona di tengah tanggung jawab mengabarkan situasi terbaru kepada publik.  Mereka bekerja dalam memberikan informasi kepada publik agar berhati-hati terhadap serangan virus mematikan itu. Publik ingin tahu berapa banyak kasus yang dilaporkan di lingkungan mereka, saran pakar kesehatan, dan bagaimana pemerintah menangani pandemi.

 

 

Daftar Pustaka

https://wongkito.co/read/aji-pemerintah-abai-terhadap-keselamatan-jurnalis-dari-covid-19

https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/qhz94j282/jungkir-balik-jurnalis-covid19-depresi-hingga-ancaman-phk

https://ayoyogya.com/read/2020/05/01/39274/jurnalis-rentan-terkena-phk-selama-pandemi

https://www.kompas.tv/article/112782/jurnalis-menjadi-salah-satu-profesi-yang-rentan-terpapar-covid-19

https://www.voaindonesia.com/a/jurnalis-dan-pekerja-media-positif-corona/5599430.html

https://ayobandung.com/read/2020/08/15/118499/jurnalis-di-tengah-covid-19-rentan-tertular-gaji-terpangkas


0 komentar:

Posting Komentar