Jurnalistik dan Pukulan Pandemi.
Di tengah bencana pandemi, jurnalis adalah
salah satu profesi yang bertugas di garda depan. Para jurnalis melakukan
kegiatan peliputan yang tak jarang mengharuskan mereka turun ke kawasan
berbahaya demi informasi yang akurat.
Jurnalis merupakan profesi yang menantang
dan penuh risiko, tetapi munculnya pendemi Covid-19 menambah rentetan beberapa
masalah baru yang harus dihadapi oleh para jurnalis, salah satunya adalah
tekanan psikologis. Dari hasil survei persepsi diri wartawan di masa pendemi
COVID-19 yang dilakukan oleh Center of Economi Development Study (CEDS)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjajaran menunjukan kabar yang
tak baik.
Survei yang dilakukan periode 2-10 April
dari berbagai daerah di Indonesia menunjukan 45,92 persen wartawan mengalami
gejala depresi, 57,14 persen wartawan mengalami kejenuhan umum. Gejalanya
adalah ketakutan, tidak bisa tidur, merasa tertekan dan sulit berkonsentrasi.
Hal tersebut terjadi karena mereka harus
meliput berbagai berita negatif, seperti banyaknya orang yang terpapar Covid-19
dan berbagai tragedi di masa pendemi. Para jurnalis wajib menjaga kesehatan
metal mereka untuk mengatasi hal tersebut, agar tidak membawa dampak besar bagi
para jurnalis. Jurnalis merupakan salah satu profesi yang dianggap rentan
terpapar Covid-19. Hal tersebut dikarenakan dari mobilitas tinggi jurnalis di
lapangan saat melakukan peliputan. Para jurnalis harus tetap melakukan peliputan
dengan berbagai kondisi, meskipun taruhannya adalah kesehatan dan keselamatan
diri di masa Covid-19.
AJI mencatat setidaknya ada 242 jurnalis
dan pekerja media yang dinyatakan positif virus corona sejak 30 Maret hingga 18
September 2020. Namun, tidak banyak perusahaan media yang mempublikasikan diri
terkait status positif virus corona pekerja mereka.
Pemerintah Dinilai Abai Terhadap Jurnalis
Saat Bendaca Pandemi
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia
Sasmito Madrim menjelaskan Bentuk sikap abai pemerintah terlihat dari banyaknya
konferensi pers yang digelar kementerian dan pemerintah daerah secara tatap
muka. AJI mencatat setidaknya ada tujuh kegiatan konferensi pers secara
langsung, yang tidak menaati protokol kesehatan pada Juli-Agustus 2020.
Konferensi pers tersebut membuat kerumunan orang dan tidak memastikan adanya
jarak aman sekitar dua meter.Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai,
pemerintah telah abai terhadap penerapan protokol pencegahan penularan Covid-19
dalam kegiatan yang melibatkan jurnalis.
“Kondisi ini berpotensi membuat jurnalis
dan pekerja media di Indonesia, rentan tertular Covid-19,” Sasmito dalam siaran
pers tertulis, Selasa (22/9).
AJI juga memantau kondisi setelah
diterapkannya pelonggaran PSBB dengan menerapkan New Normal di berbagai wilayah
di Indonesia pada Juli dan Agustus 2020. Kebijakan itu diambil tanpa pemantauan
dan sanksi tegas bagi masyarakat yang melanggar protokol kesehatan. Akibatnya
kasus virus Covid-19 kian bertambah di berbagai daerah. Virus Covid-19 menyebar
ke berbagai lokasi, baik di Ibu Kota maupun di daerah, kemudian menginfeksi
para jurnalis dan pekerja media.
Data yang dikumpulkan AJI, setidaknya 242
jurnalis dan pekerja media yang dinyatakan positif Covid-19 sejak 30
Maret-September 2020. Kasus terbanyak terjadi dalam rentang Juli-Agustus 2020
dengan 235 kasus.
“Melihat kondisi ini, AJI mendesak
pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga lain untuk tidak menggelar
konferensi pers, secara tatap muka yang dapat berpotensi terjadinya penularan
Covid-19 terhadap jurnalis dan pekerja media,” tegas Sasmito.
Upah dan Kondisi Kerja Kurang Layak
Tentu saja industri media dan
keberlangsungan kegiatan jurnalistik terpukul telak oleh bencana COVID INI.
Sulitnya pemasukan yang didapatkan dari pengiklan, megurangi dan memperketat
pengeluaran menjadi antisipasi perusahan media terhadap pandemi ini. Sehingga
pendapatan jurnalis turun dan tak jarang juga ada pemutusan hubungan kerja.
AJI Yogyakarta membuat survei upah layak terhadap jurnalis.
Untuk jurnalis pemula di Yogyakarta, salah satu kota dengan upah terendah,
sekitar 1,7 juta rupiah (sesuai besaran Upah Minimum Regional). Mustahil
jurnalis dapat hidup layak di Yogyakarta. Berdasarkan survei upah layak di
Yogyakarta, upah atau gaji jurnalis berada di kisaran 6 juta rupiah. Angka itu
dihitung dari kebutuhan makan, tempat tinggal, sandang, dan kebutuhan penunjang
(cicilan gawai).
“Dari situasi tersebut, jurnalis pemula
mendapat upah yang jauh panggang dari api,” ujar Shinta Maharani Ketua AJI
Yogyakarta.
AJI juga menerima keluhan terhadap
perusahaan media yang tak memberikan alat pelindung diri (hand sanitizer,
masker, dan lainnya). Padahal, jurnalis berisiko terinfeksi virus Corona di
tengah tanggung jawab mengabarkan situasi terbaru kepada publik. Mereka bekerja dalam memberikan informasi
kepada publik agar berhati-hati terhadap serangan virus mematikan itu. Publik
ingin tahu berapa banyak kasus yang dilaporkan di lingkungan mereka, saran
pakar kesehatan, dan bagaimana pemerintah menangani pandemi.
Daftar Pustaka
https://wongkito.co/read/aji-pemerintah-abai-terhadap-keselamatan-jurnalis-dari-covid-19
https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/qhz94j282/jungkir-balik-jurnalis-covid19-depresi-hingga-ancaman-phk
https://ayoyogya.com/read/2020/05/01/39274/jurnalis-rentan-terkena-phk-selama-pandemi
https://www.kompas.tv/article/112782/jurnalis-menjadi-salah-satu-profesi-yang-rentan-terpapar-covid-19
https://www.voaindonesia.com/a/jurnalis-dan-pekerja-media-positif-corona/5599430.html
https://ayobandung.com/read/2020/08/15/118499/jurnalis-di-tengah-covid-19-rentan-tertular-gaji-terpangkas







0 komentar:
Posting Komentar